Monday, October 5, 2020

Train of Thoughts

Aku berlarian di atas tanah yang becek dan diterpa gerimis kecil setelah buru-buru mencium tangan suamiku. Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul 06.15 pagi. Waduh, aku hampir ketinggalan keretaku. Biasanya, aku berangkat lebih pagi, namun karena semalam aku kelupaan menyiapkan bumbu dapur untuk kumasak di pagi hari sebelum berangkat ke kantor, aku terpaksa berangkat agak siang.

 

Pagi hari pukul 06.15 adalah pagi yang terlalu siang untuk para pengguna kereta. Berangkat kesiangan 10 menit sangat berpengaruh pada tingkat kenyamanan dan bau badan seselesainya dari perjalanan. Seperti nasibku pagi ini. Jika saja aku tiba 10 menit sebelum sekarang, kemungkinan Stasiun Rawa Buntu belum sepadat sekarang ini.

 

Bergegas aku menempelkan kartu e-money pada gerbang stasiun dan lari menuju antrian kereta. Di depanku sudah ada sekitar 5 orang yang memenuhi jalur masuk pintu kereta, walaupun keretanya belum datang. Dari penampilannya, pengguna kereta ini mayoritas adalah pekerja, dengan ransel berisi laptop yang diletakkan di depan dada agar tidak kecopetan, jaket anti angin atau bahkan jaket anti hujan. Di telinga terpasang earphone atau headset, agar tidak bosan di perjalanan. Jangan lupa masker, karena biasanya harus menggunakan ojek setibanya di stasiun tujuan.

 

Ah itu dia keretaku datang!

 

Baru sedetik kereta berhenti, semua orang yang mengantri langsung saling dorong untuk masuk ke gerbong.

 

“Pak, jangan dorong-dorong dong Pak!” Aku yang sedang dalam posisi terhimpit di antara orang-orang, mendengar teriakan lengking dari seorang wanita persis di belakang kupingku.

 

“Ya ini saya juga didorong-dorong Bu!” balas pria di antrian belakang. Akhirnya aku berhasil masuk gerbong dengan posisi berdiri di dekat pintu. Saking padatnya gerbong, aku bahkan bisa berdiri tanpa berpegangan tangan kemanapun, cukup menyandarkan diri pada orang sekitarku. 

 

Ya Tuhan, kerja tuh kok gini amat ya……

 

Aku pilih shuffle dari playlist favoritku di telepon genggam, playlist yang kubuat sejak aku lulus kuliah lima tahun lalu. Seperti orang-orang yang menggunakan waktu mandi, menyetrika, atau menyetir untuk memikirkan banyak hal, aku juga terbiasa menggunakan waktuku yang melelahkan di kereta untuk melintasi pikiranku sendiri. Salah satu pemikirannya adalah mengenai tumpukan pekerjaan yang belum selesai. Seketika detak jantungku berdegup kencang memikirkan banyak hal yang perlu aku lakukan di kantor dan sepertinya saking banyaknya perlu aku bawa pulang ke rumah malam ini.

 

Suara Barry Gibb melengking keras di telingaku seakan mengingatkanku untuk tetap “berusaha hidup” walaupun banyak tantangannya disana-sini.

 

“Whether you're a brother or whether you're a mother

You're stayin' alive, stayin' alive

Feel the city breakin' and everybody shakin'

And we're stayin' alive, stayin' alive”

Bee Gees - Stayin Alive

 

Kereta tiba di Stasiun Sudimara ketika lagu berganti ke Age of Worry dari John Mayer. Lirik lagu ini membuatku melanjutkan pemikiran mengenai pekerjaanku di kantor.

 

“Close your eyes and clone yourself

Build your heart and army

To defend your innocence

While you do everything wrong”

John Mayer - The Age of Worry

 

Sudah hampir setahun aku bekerja di perusahaan ini, rasanya sudah cukup banyak kekeliruan yang aku buat. Namun entah kenapa, seakan semuanya terampuni dan malahan semuanya memiliki sudut pandang yang berbeda, yaitu melihatnya dari segi pembelajaran. Bukan berarti rasa bersalah tidak ada, namun rasa bersalah itu malah menguatkan mental agar selalu dapat melakukan perbaikan terus menerus. Rasanya menyenangkan walaupun proses belajarnya itu melelahkan.

 

Terlepas dari gerbong yang sudah padat, penumpang tetap memaksa masuk ke gerbong, membuat gerbong semakin penuh sesak. Sekarang aku benar-benar tidak bisa bergerak. Kekurangan oksigen membuatku setengah mengantuk. Suara lagu di telinga mengantar pikiranku meloncat-loncat ke keadaanku beberapa tahun lalu.

 

“I decided long ago

Never to walk in anyone's shadows

If I fail, if I succeed

At least I'll live as I believe

No matter what they take from me

They can't take away my dignity”

Whitney Houston - The Greatest Love of All

 

Ada kondisi dimana aku merasa sangat krisis identitas. Atas nama profesionalisme, selama beberapa waktu aku diharuskan melakukan hal yang melanggar integritas dan idealisme diri. Mengingat hal tersebut aku bergidik ngeri sendiri. Ya Tuhan, untung nyawaku tidak dicabut tiba-tiba. Jika aku mati saat berbuat dosa, apakah aku siap menanggung hukuman di neraka? Lagu dari Whitney Houston inilah yang sering aku putar ketika aku ketakutan terbawa arus “profesionalisme” yang tidak patut. Melalui lagu ini, aku semacam diingatkan jika aku adalah diriku sendiri, yang idealismenya tidak boleh dipengaruhi siapapun. Dari lagu ini pun aku menyadari kalau cara terbaik dalam mencintai diri sendiri adalah dengan menjaga diri dari perbuatan yang menjatuhkan martabat.

 

Doaku terwujud melalui tempatku bekerja sekarang. Aku tersenyum kecil di balik maskerku. Sekarang alasan aku untuk hidup bukan cuma sekedar hidup. Jika dahulu waktuku hanya kuhabiskan untuk memikirkan bagaimana bisa tetap hidup dengan berusaha menghindari dosa, sekarang banyak kuhabiskan untuk memikirkan bagaimana untuk hidup dengan menghindari dosa dan semakin bermanfaat dan bermakna untuk sesama, sesuai dengan cita-cita luhur tempat kerjaku saat ini. Alhamdulillah.... Aku merasa diselamatkan dan merasa diberikan tempat yang lebih mulia oleh-Nya. Alhamdulillah, alhamdulillah… Kutambahkan ucapan syukur seakan satu kali pun tidak cukup.


-oOo-

 

“Sesaat lagi, kereta Anda akan tiba di Stasiun Kebayoran. In a few minutes, we will arrive in Kebayoran Station. Para penumpang harap periksa kembali tiket dan barang bawaan Anda…”

 

Tak terasa, lamunanku mengantarkanku tiba di tujuanku. Dengan goyah dan mengantuk aku melangkahkan kaki keluar gerbang dan menaiki tangga ke pelataran utama Stasiun Kebayoran. Matahari bersinar dengan terangnya, menghiasi suara keramaian di kejauhan dari Pasar Kebayoran. Sambil menunggu ojek online, agar tidak mengantuk aku banyak mengamati kehidupan masyarakat di sekitar.

 

Tidak jauh dari posisiku berdiri, ada mobil sampah besar dan sekelompok petugas kebersihan yang sedang membersihkan tumpukan sampah yang dibuang oleh penduduk. Tidak jauh juga dari tumpukan sampah tersebut, ada penjual kue yang mendagangkan makanan ke petugas kebersihan tersebut. Para petugas makan dengan lahap dan bahagia. Dalam hati aku terenyuh. Ya Tuhan, alhamdulillah dalam hidupku aku dituntun untuk mengambil pilihan pekerjaan yang halal dan mudah bagiku. Malu rasanya aku melihat para petugas kebersihan masih bisa mensyukuri rezeki yang halal padahal kondisinya lebih menyulitkan daripada kondisiku.

 

“Neng Niken ya? Kantor Wardah Paragon, Kampung Baru III?”

 

Sapaan dari tukang ojek online membuyarkan lamunanku. Aku menaiki ojek dengan hati yang lebih bersemangat menyambut tantangan-tantangan dan pembelajaran-pembelajaran baru di kantor. Aku bersyukur, sebagai orang biasa, atas kehendak-Nya aku diberikan kesempatan untuk bergabung di tempat kerja yang luar biasa. Jika pun aku merasa lelah, aku yakin semua orang di tempat ini sama lelahnya, namun lelahnya jadi terbayar karena kita bersama-sama melangkahkan kaki kita untuk menjawab tujuan mulia yang sama sebagai manusia, yaitu untuk bermanfaat dan bermakna bagi sesama.

 

Ada “surprise” apa lagi ya di kantor hari ini yang perlu ditaklukkan? Aku memilih lagu terfavorit dari playlistku dan bersenandung kecil di balik maskerku.

 

“Bila ingin hidup damai di dunia

Bahagialah dengan apa yang kau punya

Walau hatimu merasa semua belum sempurna

Sebenarnya kita sudah cukup semuanya

 

Bila ingin lebih damai di dunia

Berbagilah bahagia yang telah kau punya

Kini hatimu terasa semua lebih sempurna

Karena kau hidup dengan seutuhnya”

 

Adera - Catatan Kecil

 

Bismillahirahmanirahim, yuk kita mulai hari ini!

 

 --------------

 

NB: Playlist di cerita ini dapat diakses di https://open.spotify.com/playlist/56HGW86PPvKlWUCNDzH4H9?si=l71Oc1HZRaiXQJ90ojqt7Q


No comments: